Akan Punahkah Suku Baduy Dalam?

beres packing ! :D

beres packing ! 😀

Pada tulisan kali ini, saya akan menuliskan salah satu sudut keunikan Indonesia, Suku Baduy Dalam di Banten. Sebenarnya ini perjalanan balas dendam, karena waktu SMA dulu saya tidak kesampean ikut study tour Sosiologi ke Baduy Dalam. Huehue.

Awal Mei 2014, jam 08.00 WIB saya bersama rombongan Backpacker Indonesia (BPI) yang berjumlah 16 orang berangkat dari stasiun Tanah Abang. Oh ya, ngedumel sedikit boleh yaa tentang stasiun satu ini hehe. Saya berangkat dari stasiun Kalibata menuju stasiun Tanah Abang, fyi ini pertama kalinya saya ke stasiun Tanah Abang. Tiba di Stasiun Tanah Abang, dari peron saya naik tangga karena saya pikir ke sanalah pintu keluarnya. Sampe di atas saya melihat teman satu rombongan, tapi sayang sungguh sayang kami terhalang pembatas karcis pintu masuk, jadi ternyata saya tidak boleh lewat situ karena itu jalur masuk ke peron, kata petugas saya harus keluar stasiun dulu kemudian membeli karcis lagi di depan stasiun. Kabar olahraganya adalah, saya harus turun lagi lalu menyusuri sepanjang peron kemudian jalan lagi keluar kurang lebih 200 meter, dan naik tangga lagi (sayang tidak saya hitung undakan tangganya ahaha ini namanya stretching guys!) baru kemudian saya bisa bertemu teman yang saya lihat di atas tadi. Ahh.. Dear pemerintah, tidak adakah cara yang lebih simple?

Ok, kembali ke perjalanan. Saya naik kereta api Rangkas Jaya, Tanah Abang-Rangkasbitung dengan tiket seharga Rp 15.000,-. Sebagai catatan, KA Rangkas Jaya ini diberangkatkan dari stasiun Tanah Abang jam 08.00 WIB dan 18.05 WIB, sedangkan dari stasiun Rangkasbitung diberangkatkan pukul 06.00 WIB dan 15.00 WIB. Tiba di stasiun Rangkasbitung sekitar pukul setengah sebelas, kami melihat begitu banyak rombongan backpackeran, menurut ketua rombongan kami ada grup BPI lain yang juga menuju Baduy Dalam dengan membawa rombongan 90 orang. Wow, apa kabar kesunyian Baduynya yah? Huehue. Mari menikmati saja.

Dok. Mba Evi

Rombongan sblm kucel [Dok. Mba Evi]

Dari stasiun Rangkasbitung kami menaiki transport minibus, sekitar satu jam lebih perjalanan yang ditempuh. Sekitar pukul 12.00 WIB kamipun tiba di Desa Ciboleger, Desa terdekat dari Baduy Luar. Di sini kami menyiapkan perbekalan dengan membeli snack dan minuman di minimarket yang cukup antreee. Kami makan siang di sebuah warung, jumlah kami perempuan yang sepuluh orang makan bersama di warung tersebut. Seperti bertamu di rumah kawan saja, kami duduk melingkar di atas tikar, disuguhkan telor dadar, sambel, ayam goreng, sambal kentang dan kobokan tangan. Seusai kami makan, Akang pemilik warung menembak biaya makan kami, Rp 145.000,- hehe mahal juga ya, melihat laukpun tidak kami habiskan semua. Di Ciboleger ini, kami ditawari membeli tongkat kayu oleh penjual-penjual cilik seharga Rp 3.000,-. Mereka tidak menjelaskan untuk apa tongkat-tongkat itu, salah satu teman bertanya pada ketua rombongan untuk apa tongkat itu, dengan santai ia menjawab, “Yah itu mah tergantung selera, mba.. “ ahaha kami pikir buat apa berselera pada tongkat? Baiklah kami memutuskan untuk tidak membeli tongkat. Dan keputusan itupun akhirnya kami sesali kemudian, ahaha karena hujan turun deras pada saat jalur trekking membuat jalan menanjak menjadi sangat licin dan berlumpur, saya pikir tongkat itu bisa mahal dijual di tengah hutan ketika kami tahu kegunaannya. 😀

Perempuan Baduy Luar

Perempuan Baduy Luar

Trek awal kami menyusuri jalan-jalan di perkampungan Baduy Luar. Kami melihat ibu-ibu yang duduk berkumpul di luar rumah panggung mereka, ada yang asik menenun, ada yang sekedar mengobrol saja. Mereka mengenakan batik khas Baduy yang berwarna biru, seperti slayer yang dibagikan kepada kami oleh ketua rombongan di atas kereta tadi.

Penenun Baduy

Penenun Baduy

Hasil tenun masyarakat Baduy tidak hanya bagus namun juga unik dan langka, bahkan sudah dipamerkan dalam pameran-pameran Internasional, seperti dikutip dari situs National Geographic Indonesia, Tenun Baduy Dipamerkan Di Negeri SakuraSuku Baduy Dalam juga menjual hasil kerajinannya ke kota Jakarta. Mereka jalan kaki selama tiga hari menuju Bundaran HI Jakarta pusat dan tanpa alas kaki !

Kain Tenun Baduy

Kain Tenun Baduy

Kaum Bapak-bapak Baduy Luar memiliki kesibukannya sendiri, ketika kami melintasi perkampungannya tampak mereka sedang sibuk membelah kayu hasil hutan.

Ahh.. inilah puisi bagi saya, melihat interaksi manusia dan kesederhanaannya , melihat bagaimana mereka bersinergi dengan alam, saling membutuhkan satu sama lain.

kesederhanaan hidup

kesederhanaan hidup

Tujuan kami adalah Desa Cibeo, Baduy Dalam. Cuma di Desa Cibeo pendatang seperti kami diperkenankan untuk menginap di Baduy Dalam. Untuk mencapai desa tersebut kami menempuh kurang lebih empat jam trekking, menaiki, menuruni, mengelilingi bukit. Yang menghibur adalah pemandangan hutan yang sejuk, aliran sungai yang segar, dan jembatan-jembatan kayu yang dibangun oleh masyarakat Baduy sebagai pembatas perkampungan.

Trek awal

Trek awal

Berkali-kali kami tertipu, kami kira sudah sampai di Desa tujuan kami, namun ternyata kami hanya melihat lumbung-lumbung padi milik masyarakat Baduy.

Lumbung Padi

Lumbung Padi

trekasik

Jembatan Baduy Luar

Jembatan Baduy

Baduy Dalam dan Baduy Luar dibatasi oleh jembatan kayu. Baduy Dalam dikelilingi aliran sungai, sehingga batas-batas wilayah luar Baduy Dalam adalah aliran sungai. Beda antara Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah hukum adat yang mengikatnya. Bagi masyarakat Baduy Dalam banyak sekali pantangan yang tidak boleh dilanggar, hukum adat bagi mereka tidak diperkenankan menggunakan peralatan modern. Mereka anti modernisasi, isolasi sosial dengan dunia luar. Pendidikan dilarang bagi anak-anak suku Baduy Dalam, dilarang beralas kaki, menaiki kendaraan, dilarang menikah dengan orang Baduy Luar bahkan pernikahan mereka telah ditetapkan dengan siapa, mereka tidak berhak jatuh cinta dengan perempuan pilihan hati mereka sendiri, jika melanggar maka dikeluarkan dari Baduy Dalam. Kami banyak mengobrol dengan Kang Ahmad yang menjadi pemandu sekaligus porter. Setelah melewati batas Baduy Dalam dan Baduy Luar, kami diberitahu untuk tidak lagi menggunakan peralatan teknologi, hp, kamera, sikat gigi, lotion, sabun, dll semua barang-barang hasil modernisasi.

Kami tiba di Desa Cibeo Baduy Dalam sekitar jam 17.15 WIB. Hampir gelap. Dan tahukah Anda, bahwa rombongan BPI yang 90 orang itu baru sampai Cibeo sekitar jam sepuluh malam. Yaa Ampun. Sebenarnya sedih juga dengan kenyataan bahwa kami tidak menemukan kesunyian, kedamaian, kesakralan Baduy Dalam di Desa Cibeo. Begitu banyak pendatang, gaduh, belum lagi kesadaran kebersihan yang sangat kurang. Bahkan menurut Bapak Sani kepala rumah tangga tempat kami menginap, akan datang rombongan siswa 350 orang dari Bandung untuk  menginap minggu depan setelah kedatangan kami. Wah…

Rombongan kami dibagi dua penginapan, memisahkan laki-laki dan perempuan. Rombongan perempuan di rumah Bapak Sani. Karena waktu sudah akan gelap, kami bersama menuju sungai di belakang rumah Pak Sani untuk membersihkan diri. Saya memilih untuk tidak mandi, hanya mengganti pakaian saja dan mengelap tubuh dengan tissue basah. Bahagianya saya ketika menanti waktu magrib di sungai, kami melihat beberapa kunang-kunang terbang di sekitar kami. Ahh .. syukur alhamdulillah 🙂

Suku Baduy Dalam sangat menghargai alam dan kesederhanaan mereka wujudkan dalam keseharian kehidupan mereka, bersahaja sekali. Seluruh masyarakat Baduy Dalam menggunakan pakaian yang sederhana, ikat kepala putih dan baju putih yang dipasangkan serupa rok, tanpa alas kaki. Dan pakaian tersebut tidak membedakan sama sekali dengan kepala adatnya, semua memakai pakaian yang sama. Terlihat bagaimana mereka menyatu. Bangunan rumah masyarakat Baduy juga mengikuti kontur tanah, mereka tidak meratakan tanah untuk membangun rumah. Atap-atap menggunakan semacam jerami yang bertahan hingga sepuluh tahun. Semua bangunan rumah sama persis. Berundak-undak. Mereka memasak dengan kayu dan api yang diletakkan di dalam rumah panggung mereka. Pekerjaan mereka sehari-hari adalah berkebun. Mereka tidak sembarang menanam, ada yang tidak boleh ditanam karena tidak sesuai dengan tanah mereka (ahh saya lupa apa yang boleh ditanam apa yang tidak boleh hihi maaf). Sawah mereka juga tidak biasa, sawah tadah hujan, tampak kering, karena tidak diairi seperti sawah-sawah yang biasa kita lihat. Sawah di sana mengandalkan air hujan yang turun dari langit, ditanam mengikuti kontur tanah. Masyarakat Baduy Dalam sangat menghargai alam, bagaimana dengan kami?

Selama perjalanan, saya melihat ada peserta kami yang merokok dan asik saja membuang puntungnya di jalan. Belum lagi sampah yang berserakan di sana sini. Untuk apa rajin menjelajahi alam, namun tidak juga paham bagaimana alam telah memberikan begitu banyak, sementara yang menikmatinya tanpa tanggung jawab. Hiks.

Perjalanan melelahkan dengan diselingi hujan deras pada saat kami berangkat telah menjadi alasan kami tertidur pulas, bahkan rombongan kami tertidur sudah mulai dari jam 20.00 WIB ahaha jadi jauh-jauh ke Baduy Dalam hanya untuk tidur kemudian besok pulang? Saya bersama mba Indri dan mba Nia yang tidur paling akhir jam 22.00 WIB setelah mengobrol ngalor ngidul hihi.

Pagi di Baduy Dalam, Desa Cibeo ramai sekali. Banyak pedagang souvenir dari luar. Yang mereka jual souvenir kerajinan tangan masyarakat Baduy. Cukup murah harga yang mereka tawarkan. Saya miris kenapa yang menjual dari orang luar ya?

Melalui Jembatan Akar Yang Eksotis

Melalui Jembatan Akar Yang Eksotis

110520141025

Perjalanan pulang kami tidak seberat jalur pendakian kemarin, kami tidak melalui Desa Ciboleger lagi. Dalam perjalanan pulang beberapa kali saya berpapasan dengan Baduy-baduy Cilik. Mereka bekerja. Dibayar Rp 30.000, untuk menjadi porter sekali jalan, membawakan tas-tas ransel pendatang. Seperti Baduy Cilik ini, usianya sekitar delapan tahun, tidak bersekolah karena melanggar adat, dan mereka senang difoto.

pekerja cilik

hihi

Kaki-kaki kecil itu

Langkah-langkah terarah

Bagi mereka hidup adalah sederhana

Melihat yang di depan

Dengan mata kesederhanaan

melihat asa

Begitulah adat Baduy Dalam, mengikat banyak larangan dan pantangan namun melekat filosofi ksederhanaan yang menyatu pada alam.

Banyak sekali pelajaran kesederhanaan dari perjalanan kali ini. Anak-anak Baduy Dalam ini, ingin sekali saya mengajarinya baca tulis, tapi untuk apa? karena mereka juga sudah bahagia dengan aturan adat yang dibuat suku mereka sendiri. Saya kasihan melihat kesederhanan mereka, namun bisa jadi justru mereka yang kasihan melihat pendatang yang jauh-jauh kelelahan, datang ke desa mereka hanya untuk tidur. Isolasi sosial mereka lama kelamaan akan tercemar juga, karena banyaknya pendatang sedikit banyak telah merubah pola pikir generasi muda masyarakat Baduy Dalam. Seperti anak Bapak Sani, yang memilih keluar dari Baduy Dalam karena menginginkan kebebasan. Namun anak Bapak Sani ini masih bisa menginap di rumah bapaknya, maksimal hanya dua hari, tidak boleh lebih. Jika terus seperti ini, generasi Baduy Dalam akan punah.

Data Juni 2003 dari Kecamatan Leuwidamar menyebutkan, wilayah adat Masyarakat Adet Kanekes atau Suku Baduy mencakup Desa Kanekes 5.130,36 ha, dengan 2.946 ha hutan lindung dan 2.155 ha hutan produksi. Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) mencatat, warga Baduy berjumlah 1.829 keluarga yang terdiri dari 7.180 jiwa. Baduy Dalam, 248 keluarga (789 jiwa) dari Kampung Cibeo (108 keluarga, 85 rumah, 408 jiwa), Cikartawana (28 keluarga, 24 rumah, 116 jiwa) dan Cikeusik (112 keluarga, 36 rumah, 265 jiwa) Sumber. National Geographic.

Bagaimana dengan data lima puluh tahun mendatang?

Waktu selalu punya jawaban terbaik 🙂

 

Leave a comment